Peraturan baru di industri penerbangan membuat persaingan di segmen
maskapai tarif murah tetap ketat, kata Albert Burhan, presiden dan CEO
baru Citilink Airlines. Walaupun jumlah maskapai berkurang, minat
masyarakat untuk terbang masih tinggi, papar Albert. Maskapai-maskapai
pun berekspansi dengan menambah pesawat dan jadwal penerbangan.
Citilink adalah anak perusahaan maskapai nasional Garuda Indonesia.
Maskapai ini mengoperasikan 187 penerbangan per hari dari Jakarta dan
Surabaya ke 23 kota dalam negeri. Tahun lalu, Citilink melayani 7,8 juta
penumpang atau kenaikan hampir 50% dari 2013. Untuk 2015, maskapai ini
berharap dapat menambah jumlah penumpang menjadi 11,2 juta dan membuka
lima rute baru.
Sejumlah peraturan baru dari Kementerian Perhubungan bisa menjadi
tantangan untuk mewujudkan target itu. Di antaranya, batas termurah
harga tiket kini adalah 40% di bawah harga maksimal. Penjualan tiket pun
sekarang tidak bisa lagi dilakukan di terminal penumpang.
Albert, mantan direktur keuangan Citilink, belum lama ini berbincang dengan
The Wall Street Journal mengenai rencana maskapainya menghadapi persaingan dan peraturan baru. Berikut petikannya.
WSJ: Apa pendapat Anda tentang kebijakan baru Kemenhub,
termasuk batas bawah harga tiket dan pelarangan penjualan tiket di
bandara?
Albert: Saya kira seluruh peraturan baru dari
Kementerian niatnya baik, dan bermaksud untuk memperbaiki kondisi yang
ada saat ini. Hanya saja kita harus melihat efektivitasnya.
- Anita Rachman/The Wall Street Journal
- Presiden dan CEO Citilink Albert Burhan.
WSJ: Bagaimana cara Citilink menghadapi kebijakan batas harga?
Albert: Untuk beberapa rute, harganya jadi lebih
mahal. Tetapi untuk sebagian besar rute, harganya kurang lebih sama.
Misalnya, untuk Jakarta-Surabaya, harga tiket biasanya Rp300 ribu.
Sekarang harganya di atas itu. Pastinya, sulit untuk menjual tiket
promosi—kami tak bisa menjual tiket Rp100 ribu, misalnya. Tetapi kami
akan mencoba menjualnya dengan nilai tambah. Contohnya, beli tiket
Citilink dengan harga tertentu, dapat diskon untuk menginap dua malam di
hotel tertentu.
WSJ: Bagaimana dengan larangan penjualan tiket di terminal penumpang? Anda sudah menerapkannya?
Albert: Sejak 1 Maret, sudah tidak ada penjualan tiket di dua bandara, termasuk Soekarno-Hatta.
WSJ: Apa pengaruhnya terhadap pemasukan?
Albert: Sudah pasti ada pengaruhnya. Sejauh ini, sekitar 5% penjualan Citilink datang dari penumpang
go-show [yang
langsung membeli tiket di bandara]. Kami tentu ingin mereka kembali
lagi, membeli tiket kami. Tapi itu berarti kami harus berinvestasi lagi,
karena selain
customer service di bandara, kami juga harus
membuka kantor penjualan di luar bandara. Penumpang Indonesia masih
ingin dilayani. Kami telah berinvestasi untuk penjualan langsung di Web
atau via ponsel—mudah, tinggal beberapa klik. Tapi [penjualan
online] belum naik. Penjualan via biro perjalanan yang naik.
WSJ: Apakah persaingan di industri penerbangan masih ketat?
Albert: Tidak seketat seperti sebelumnya. Dulu kita
punya, misalnya, Batavia Air dan Tigerair Mandala. Tetapi ada beberapa
yang sudah berhenti beroperasi. Jadi, maskapai sekarang lebih
sedikit—tetapi persaingan masih ketat.